Persiapan Pendakian
Banyak remaja sering
mengisi waktu liburan dengan naik gunung. Namun, karena ketidak-tahuan,
kegiatan fisik berat itu sering tidak disiapkan dengan baik. Padahal, mendaki gunung
ditentukan oleh faktor ekstern dan intern, dan kebugaran fisik mutlak
diperlukan.
Pendaki gunung
legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek
pertanyaan mengapa ia begitu tergila-gila naik gunung. “Because it is there”, ujarnya. Jawaban itu menggambarkan betapa luas
pengalamannya mendaki gunung dan bertualang. Selain jawaban itu, masih banyak
alasan mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan
lainnya.
Anggota-anggota Mapala
Universitas Indonesia, Kelompok Pencinta Alam tertua
(bersama Wanadri Bandung) di Indonesia, contohnya. Mereka punya alasan lebih panjang dari Mallory. Dalam
halaman awal buku pegangan petualangan yang dimiliki seluruh anggotanya
tertulis, Nasionalisme tidak dapat
tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat
langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung.
Yang jelas, tidak
seorang petualang alam-komunitas di Indonesia lebih senang menggunakan istilah
pencinta alam-melakukan kegiatan itu dengan alasan untuk gagah-gagahan. Karena
bukan untuk gagah-gagahan, maka sebaiknya tidak ada istilah modal nekad dalam
mendaki gunung.
Bagaimanapun, gunung
dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin,kencangnya angin yang membuat
tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang pekat bukanlah habitat manusia
modern. Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki
gunung tidak membekali diri dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang
alam, dan navigasi yang baik.
Tanpa persiapan yang
baik, naik gunung tidak bermakna apa-apa. Secara umum, ada dua faktor yang
mempengaruhi berhasil tidaknya pendakian gunung. Pertama, faktor ekstern atau
faktor yang berasal dari luar diri pendaki. Cuaca, kondisi alam, gas beracun
yang dikandung gunung dan sebagainya yang merupakan sifat dan bagian alam.
Karena itu, bahaya yang mungkin timbul seperti angin badai, pohon tumbang,
letusan gunung atau meruapnya gas beracun dikategorikan sebagai bahaya objektif
(objective danger). Seringkali faktor itu berubah dengan cepat di luar dugaan
manusia.
Tidak ada seorang
pendaki pun yang dapat mengatur bahaya objektif itu. Namun dia dapat menyiapkan
diri menghadapi segala kemungkinan itu. Diri pendaki, segala persiapan, dan
kemampuannya itulah yang menjadi faktor intern, faktor kedua yang berpengaruh
pada sukses atau gagalnya mendaki gunung.
Bila pendaki tidak
mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif. Misalnya,
bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk
melawan dinginnya udara dan kencangnya angin.
Tidak bisa ditawar,
mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah
hal mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari rintangan dahan atau batu,
otot tungkai dan tangan harus kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus
kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan karena dibutuhkan perjalanan
berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak.
Bila tidak biasa
berolahraga, calon pendaki sebaiknya melakukan jogging dua atau tiga kali
seminggu, dilakukan dua hingga tiga minggu sebelum pendakian. Mulailah jogging
tanpa memaksa diri, misalnya cukup 30 menit dengan lari-lari santai.
Tingkatkan waktu dan
kecepatan jogging secara bertahap pada kesempatan berikutnya. Bila kegiatan itu
terasa membosankan, dapat diselingi dengan berenang. Dua olahraga itu sangat
bermanfaat meningkatkan endurance dan kapasitas maksimum paru-paru menyedot
oksigen (Volume O2 maximum/ VO2 max).
Latihan push up, sit up,
pull up sebaiknya juga dilakukan untuk memperkuat otot-otot. Saking
semangatnya, pendaki muda kerap kali ingin segera mencapai puncak, apalagi bila kegiatan
itu dilakukan berkelompok. Persaingan untuk berjalan paling cepat, paling
depan, dan menjadi orang pertama memijak puncak, sebaiknya ditinggalkan.
Mendaki gunung yang baik
justru melangkah perlahan dalam langkah-langkah kecil dan dalam irama tetap.
Dengan berjalan seperti itu, pendaki dapat mengatur napas, dan menggunakan
tenaga se - efisien mungkin.
Bagaimanapun mendaki merupakan pekerjaan melelahkan. Selain itu, keindahan alam
dan kebersamaan dalam rombongan, sering menggoda pendaki untuk banyak berhenti
dan beristirahat di tengah jalan. Bila dituruti terus, bukan tidak mungkin
pendakian malah gagal mencapai puncak. Karena itu, cobalah membuat target
pendakian. Misalnya, harus berjalan nonstop selama satu jam, lalu istirahat 10
menit, kembali mendaki selama satu jam dan seterusnya. Lakukan hal ini hingga
mencapai puncak atau hari telah sore untuk berkemah. Pada medan perjalanan yang
landai, target waktu seperti itu dapat diganti dengan target tempat. Caranya,
tentukanlah titik-titik target di peta sebagai titik beristirahat.
Buatlah jadwal rencana
kegiatan sehingga waktu yang tersedia digunakan se - efektif mungkin dalam bergiat di alam. Jadwal
itu memungkinkan pendaki menghitung berapa banyak makanan, pakaian, peralatan
harus dibawa, dan dana yang harus disiapkan. Jadwal itu antara lain mencakup
keberangkatan, jadwal dan rute pendakian, kapan tiba di puncak, jadwal dan rute
pulang, dan seterusnya. Jadwal pendakian perhari dapat lebih dirinci dengan
berapa jam jatah pendakian, pukul berapa dimulai dan kapan berhenti serta
seterusnya.
Untuk menghindari beban
bawaan terlalu berat, hindari membawa barang-barang yang tidak perlu. Misalnya,
cukup membawa baju dan celana tiga atau empat stel meski pendakian memerlukan
waktu cukup lama. Satu stel pakaian dikenakan saat berangkat dari rumah hingga
kaki gunung dan saat pulang. Satu stel sebagai baju lapangan saat mendaki. Satu
stel yang lain sebagai baju kering yang digunakan saat berkemah. Rain coat dan
payung dapat dicoret dari barang bawaan bila telah membawa ponco. Bila telah
membawa lilin, cukup membawa batu batere seperlunya untuk menyalakan senter dalam
keadaan darurat. Piring dapat ditinggal di rumah karena wadah makanan dapat
menggunakan rantang memasak atau cangkir.
Bila barang perlengkapan
telah terkumpul, masukkan semua ke dalam ransel. Jangan biarkan ada sejumlah
barang seperti cangkir atau sandal diikat di luar ransel. Selain tidak sedap
dipandang, risiko hilang selama pendakian, amat besar. Meski demikian, ada
beberapa barang yang ditolerir bila ditaruh di luar ransel dan diikat dengan
tali webbing ransel. Misalnya, matras karet dan tiang tenda. Namun, yakinkan,
semua telah diikat dengan kencang. Menaruh barang di dalam ransel amat berbeda
dengan cara memasukkan buku-buku pelajaran dalam daypack (ransel kecil yang
biasa digunakan ke sekolah). Buku pelajaran, baju praktikum, kalkulator dapat kita
cemplungkan begitu saja ke dalam daypack. Sebaliknya, barang-barang pendakian
harus dimasukkan dalam ransel dengan aturan tertentu sehingga mengurangi rasa
sakit saat memanggul dan menghindari ruang kosong dalam ransel.
Prinsip pengepakan barang dalam ransel.
1. Letakkan barang
ringan di bagian bawah dan barang berat di bagian atas.
2. Barang-barang yang
diperlukan paling akhir (misalnya peralatan kemping dan tidur), ditaruh di
bagian bawah dan barang yang sering dikeluar-masukkan(seperti jaket, jas hujan,
botol air) di bagian atas.
3. Jangan biarkan ada
ruang kosong dalam ransel. Contoh, manfaatkan bagian dalam panci sebagai tempat
menyimpan beras.
Comments
Post a Comment